Haruskah Menjilat Agar Terlihat? - Nara Killjoy

Nara Killjoy

Make Some Noises.

Sabtu, 13 Oktober 2018

Haruskah Menjilat Agar Terlihat?


Siapa yang suka makan eskrim? Rasanya hampir semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda menyukai eskrim. Cara memakan eskrim pun identik dengan diemut, dikulum, dan dijilat. Tapi definisi menjilat yang ada di judul artikel ini tentu saja bukan dalam hal menjilat eskrim. Bukan juga terkait aktivitas yang lazim dilakukan setiap malam jumat. Walaupun begitu, menjilat di sini juga umumnya dilakukan oleh hampir semua kalangan. Tanpa sadar, sejak kita masih kanak-kanak kegiatan menjilat ini sudah terlihat bibitnya.

Mungkin kalian waktu kecil pernah pura-pura rajin di depan orang tua untuk mendapatkan pujian. Atau ketika kalian masih duduk di bangku sekolah dasar, kalian pernah mengadukan murid-murid yang suka bikin ribut di kelas ke guru. Padahal toh kalian juga suka ribut sendiri. Semakin dewasa, saat kalian duduk di bangku kuliah, kalian juga berusaha untuk terlihat di mata dosen. Entah dengan cara apapun, baik positif dan  negatif. Kegiatan menjilat ini sendiri bisa jadi terus kalian bawa hingga ke usia kerja, sadar ataupun tidak.

jilat » pen.ji.lat

  • n orang yang suka berbuat sesuatu untuk mencari muka (mendapat pujian)

Seperti dikutip dari KBBI daring, orang yang suka menjilat disebut sebagai penjilat (yaiyalah). Penjilat gemar melakukan sesuatu yang tujuannya untuk mendapatkan perhatian, baik dari orang tua, guru, dosen, hingga atasan. Seperti gue bilang tadi, perhatian itu bisa dicari secara positif maupun negatif. Dalam hal ini, menjilat dapat kita kategorikan sebagai cara negatif untuk mencari muka atau mendapatkan pujian.

Kita mulai dari contoh yang positif. Hal yang bisa kita lakukan untuk mendapat perhatian adalah dengan memberikan seluruh kemampuan kita dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang belajar dengan sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai sempurna tentu saja akan menjadi perhatian guru dan orangtuanya. Begitu juga dengan mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan baik dan tepat waktu, tentu (kemungkinan) akan diingat oleh dosennya. Pegawai yang selalu dapat menyelesaikan target (bisa jadi) akan mendapatkan reward dari atasannya. Namun, apakah semua itu sudah cukup? 

Perhatian yang diberikan oleh orangtua, guru, dosen, atau atasan tentu saja merupakan suatu kebanggaan bagi diri kita. Namun ternyata, itu semua belumlah cukup. Kalian sudah memperoleh perhatian, tapi bisa jadi kalian belum mendapatkan nilai tambah atau value added. Misalnya jika kalian dua bersaudara dan nilai kalian lebih tinggi dari saudara kalian. Orangtua kalian bisa jadi tidak terlalu membedakan kalian dari segi uang jajan. Namun jika kalian melakukan sesuatu yang lebih, misalnya mengerjakan sesuatu di luar tanggung jawab kalian (terutama untuk mencuri perhatian orang tua), kalian berkesempatan untuk mendapatkan uang saku tambahan.

Begitu pula ketika kalian menjadi mahasiswa. Anggaplah dari segi nilai akademis kalian sudah luar biasa. Namun tentunya ada nilai lain yang nantinya dipertimbangkan sebelum diolah menjadi nilai akhir (biasanya nilai aktivitas). Mahasiswa yang aktif dan proaktif di kelas tentunya akan mendapatkan perhatian khusus dari dosen dan juga memperoleh nilai tambah. Aktif dan proaktif tidak semata-mata rajin bertanya dan menjawab di dalam kelas. Proaktif di sini bisa saja kalian mempelajari materi yang belum diajarkan untuk ditanyakan ke dosen. Kalian juga bisa proaktif untuk menanyakan tugas tertentu ke dosen dan memberikan hasil yang jauh di atas ekspektasi dan standar dosen tersebut. Yang lebih ekstrim, kalian bisa saja mengunjungi ruangan dosen kalian setiap hari untuk mengobrol atau mendiskusikan persoalan tertentu. Kalau kalian rela menjadi jongos, kalian bisa menjemput dosen kalian sebelum kuliah berlangsung dan membawakan barang-barangnya.

Hal akan menjadi lebih menarik ketika sudah memasuki dunia kerja. Masa-masa kuliah biasanya tidak akan berlangsung lama dan nilai akademis pun bukan jaminan bagi kalian untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Kalian bisa saja melakukan hal baik seperti selalu datang tepat waktu, mengerjakan tugas sesuai dengan jobdesc, mencapai target, hingga tidak melanggar kode etik maupun hukum yang berlaku. Namun apakah itu semua menjamin bahwa kalian akan mendapatkan posisi yang bagus? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Bisa jadi rekan kalian yang kadang suka telat, melanggar kode etik dan hukum untuk mencapai target, atau contoh buruk lainnya yang malah akhirnya mendapatkan promosi dari atasan kalian. 

Hal tersebut tentu saja bisa terjadi dan pasti pernah terjadi. Di sini skill menjilat itu dilakukan. Teman kalian tersebut bisa menjadi sosok yang sangat aktif dan produktif ketika atasan kalian ada. Teman kalian akan selalu mendekati atasan kalian entah untuk sekedar mengobrol ataupun menjadi jongos-nya. Teman kalian akan bertindak (seolah) sebagai ketua tim di mata atasan kalian, walaupun yang mengerjakan segala sesuatu tentunya bukan dia. Atasan kalian akan menganggap teman kalian itulah yang berjasa atas berhasilnya suatu pekerjaan atau acara yang dilaksanakan. Hidup terkesan tidak adil bukan?

Celakanya, hampir sebagian besar perusahaan baik negeri maupun swasta yang mendasarkan promosi atas kedekatan semata. Orang yang berprestasi belum tentu mendapat promosi jika prestasinya itu tidak terdengar. Sedangkan orang yang biasa-biasa saja bisa mendapatkan posisi hanya karena kedekatan dengan atasan. Yang jadi pertanyaan, sampai kapan hal ini akan terjadi? Walaupun berbagai cara telah dilakukan, termasuk diadakannya seleksi atau lelang jabatan tertentu, penilaian dari faktor kedekatan tidak dapat dipungkiri belum bisa tereliminasi sepenuhnya. Kalau sudah begini, apakah kita harus melatih skill menjilat (disamping prestasi yang kita miliki) agar bisa terlihat? Bagi pengalaman dan pendapat kalian di kolom komentar ya.
Cheers!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar