Berkenalan dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja - Nara Killjoy

Nara Killjoy

Make Some Noises.

Sabtu, 08 Februari 2020

Berkenalan dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja


Media masa akhir-akhir ini, selain dibanjiri dengan berita banjir Jabodetabek, juga diramaikan dengan wacana pemerintah menerbitkan sesuatu yang disebut Omnibus Law. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) digadang-gadang sedang menyiapkan empat rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law. Keempat RUU Omnibus Law itu pun sudah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) prioritas untuk segera dibahas dan diwujudkan menjadi Undang-undang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belum ada definisi omnibus yang berkaitan dengan bidang hukum. KBBI baru mendefinisikan omnibus dalam bidang sastra, yang mengatakan bahwa omnibus merupakan kompilasi dari beberapa karya, seperti film, buku, dan sebagainya. KBBI juga mendefinisikan omnibus sebagai bus. Literally bus. Lantas bagaimana pengertian omnibus dalam dunia hukum?

Omnibus Law merupakan Undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana. Omnibus diambil dari bahasa Latin yang artinya “for everything”. Dikutip dari laman situs Hukum Online, Black Law Dictionary yang menjadi rujukan definisi istilah hukum di negara-negara Barat juga sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law. Pada Intinya, konsep tersebut ibarat pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Omnibus Law sendiri bukanlah barang baru. Sudah banyak negara-negara lain yang menerapkannya untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang berbelit dan tumpang tindih. Omnibus Law juga dikenal sebagai Omnibus Bill. Konsep ini sering digunakan oleh negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Irlandia. Indonesia sendiri sebenarnya lebih menganut sistem civil law. Malaysia, Singapura, dan Filipina merupakan contoh negara di Asia Tenggara yang sudah terlebih dahulu menerapkan konsep Omnibus Law tersebut.

Dari empat Omnibus Law yang masuk dalam Proglenas DPR – RUU tentang Ibukota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja paling menarik perhatian dan paling sering diperbincangkan. RUU ini akan menggantikan 1.239 pasal yang terdapat dalam 79 Undang-undang dan terbagi dalam 11 klaster. Klaster-klaster tersebut antara lain: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beranggapan bahwa RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, khususnya pada klaster Ketenagakerjaan akan menggerus hak-hak mereka sebagai buruh. Mereka menduga ada upaya pemerintah untuk menghapuskan upah minimum dan pesangon, perluasan penggunaan buruh kontrak/outsourcing, isu tenaga kerja asing (TKA) tak terlatih, hingga penghilangan jaminan sosial serta sanksi pidana bagi pengusaha. Selain itu, terdapat pula isu penggantian sistem pengupahan yang sebelumnya ditentukan per bulan menjadi per jam. Hingga akhirnya KSPI menyebut RUU Omnibus ini sebagai RUU Cilaka yang merupakan akronim dari Cipta Lapangan Kerja.

Pembahasan mengenai Omnibus bermula saat pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, 20 Oktober 2019 silam. Saat itu Presiden Joko Widodo mengajak DPR untuk menerbitkan RUU Cipta Lapangan Kerja dalam bentuk Omnibus Law untuk merevisi puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan yang menghambat pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan dengan cara menghapus prosedur-prosedur panjang dan berbelit. Aktivis lingkungan pun turut keberatan dengan RUU ini, dikarenakan terdapat poin yang mengecualikan usaha tertentu dari kewajiban mengurus izin analisis dampak lingkungan (Amdal).
Mitos vs Fakta RUU Cipta Lapangan Kerja
Pemerintah tidak tinggal diam dan berusaha meluruskan keresahan yang terjadi di masyarakat, khususnya para serikat pekerja dan pengamat lingkungan. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, mengatakan bahwa syarat Amdal masih tetap ada dan masuk dalam izin berusaha, khususnya untuk usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Beliau menuturkan bahwa basis standar perizinan lingkungan tetap dipertahankan dalam mendukung masuknya investasi melalui RUU Cipta Lapangan Kerja. Hanya saja, konsep perizinannya berubah menjadi pendekatan bisnis berbasis risiko (risk based approach).

Dalam kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Khairul Anwar, mengatakan bahwa rumusan perhitungan pesangon untuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih sama seperti sebelumnya. Pegawai kontrak pun dikatakan juga akan mendapatkan kompensasi, meskipun penghitungannya berbeda dari pekerja tetap. Upah minimum tetap diterapkan, khususnya untuk pekerja di bawah satu tahun. Untuk pegawai dengan masa kerja lebih dari setahun, besaran upah disesuaikan dengan skala pengupahan di masing-masing perusahaan. Terkait pengaturan upah per jam hanya akan berlaku untuk pekerjaan khusus seperti di bidang ekonomi digital atau konsultansi.

Upaya pemerintah untuk menarik investasi dari luar patut diapresiasi, terutama yang berkaitan dengan penyederhanaan red tape alias birokrasi yang berbelit. Namun tentunya harus tetap tersedia jalur untuk dialog antar berbagai stakeholder, khususnya para serikat pekerja. DPR sebagai perwakilan rakyat harus bijak dalam mengambil keputusan nantinya. Jangan sampai bangsa sendiri dikorbankan for the sake of the foreign direct investment. Semangat untuk mereka yang sedang memperjuangkan haknya. Namun ingat, jangan sampai anarkis dan irasional, ya!
Cheers!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar