Media masa akhir-akhir ini, selain dibanjiri dengan berita banjir
Jabodetabek, juga diramaikan dengan wacana pemerintah menerbitkan sesuatu yang
disebut Omnibus Law. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) digadang-gadang sedang menyiapkan empat rancangan
Undang-undang (RUU) Omnibus Law. Keempat RUU Omnibus Law itu pun sudah terdaftar
dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) prioritas untuk segera dibahas dan diwujudkan
menjadi Undang-undang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belum ada definisi omnibus yang
berkaitan dengan bidang hukum. KBBI baru mendefinisikan omnibus dalam bidang
sastra, yang mengatakan bahwa omnibus merupakan kompilasi dari beberapa karya,
seperti film, buku, dan sebagainya. KBBI juga mendefinisikan omnibus sebagai
bus. Literally bus. Lantas bagaimana pengertian omnibus dalam dunia
hukum?
Omnibus Law merupakan Undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu
isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus
sehingga menjadi lebih sederhana. Omnibus diambil dari bahasa Latin yang
artinya “for everything”. Dikutip dari laman situs Hukum Online, Black Law Dictionary yang menjadi
rujukan definisi istilah hukum di negara-negara Barat juga sudah menjelaskan
apa itu Omnibus Law. Pada Intinya, konsep tersebut ibarat pepatah sekali
mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Omnibus Law sendiri bukanlah barang baru. Sudah banyak negara-negara lain yang
menerapkannya untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang berbelit dan tumpang
tindih. Omnibus Law juga dikenal sebagai Omnibus Bill. Konsep ini sering
digunakan oleh negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Irlandia.
Indonesia sendiri sebenarnya lebih menganut sistem civil law. Malaysia, Singapura, dan Filipina
merupakan contoh negara di Asia Tenggara yang sudah terlebih dahulu menerapkan
konsep Omnibus Law tersebut.
Dari empat Omnibus Law yang masuk dalam Proglenas DPR – RUU tentang Ibukota
Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU
tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian, RUU
tentang Cipta Lapangan Kerja paling menarik perhatian dan paling sering
diperbincangkan. RUU ini akan menggantikan 1.239 pasal yang terdapat dalam 79
Undang-undang dan terbagi dalam 11 klaster. Klaster-klaster tersebut antara
lain: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan;
Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; Kemudahan Berusaha; Dukungan
Riset dan Inovasi.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beranggapan bahwa RUU Omnibus
Cipta Lapangan Kerja, khususnya pada klaster Ketenagakerjaan akan menggerus
hak-hak mereka sebagai buruh. Mereka menduga ada upaya pemerintah untuk
menghapuskan upah minimum dan pesangon, perluasan penggunaan buruh kontrak/outsourcing,
isu tenaga kerja asing (TKA) tak terlatih, hingga penghilangan jaminan sosial
serta sanksi pidana bagi pengusaha. Selain itu, terdapat pula isu penggantian sistem
pengupahan yang sebelumnya ditentukan per bulan menjadi per jam. Hingga
akhirnya KSPI menyebut RUU Omnibus ini sebagai RUU Cilaka yang merupakan
akronim dari Cipta Lapangan Kerja.
Pembahasan mengenai Omnibus bermula saat pidato pelantikan Presiden dan
Wakil Presiden periode 2019-2024, 20 Oktober 2019 silam. Saat itu Presiden Joko
Widodo mengajak DPR untuk menerbitkan RUU Cipta Lapangan Kerja dalam bentuk
Omnibus Law untuk merevisi puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja
dan yang menghambat pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Investasi untuk
penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan dengan cara menghapus
prosedur-prosedur panjang dan berbelit. Aktivis lingkungan pun turut keberatan
dengan RUU ini, dikarenakan terdapat poin yang mengecualikan usaha tertentu
dari kewajiban mengurus izin analisis dampak lingkungan (Amdal).
Mitos vs Fakta RUU Cipta Lapangan Kerja |
Pemerintah tidak tinggal diam dan berusaha meluruskan keresahan yang
terjadi di masyarakat, khususnya para serikat pekerja dan pengamat lingkungan. Sekretaris
Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono,
mengatakan bahwa syarat Amdal masih tetap ada dan masuk dalam izin berusaha,
khususnya untuk usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Beliau
menuturkan bahwa basis standar perizinan lingkungan tetap dipertahankan dalam
mendukung masuknya investasi melalui RUU Cipta Lapangan Kerja. Hanya saja, konsep
perizinannya berubah menjadi pendekatan bisnis berbasis risiko (risk based
approach).
Dalam kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan,
Khairul Anwar, mengatakan bahwa rumusan perhitungan pesangon untuk pekerja yang
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih sama seperti sebelumnya. Pegawai
kontrak pun dikatakan juga akan mendapatkan kompensasi, meskipun penghitungannya
berbeda dari pekerja tetap. Upah minimum tetap diterapkan, khususnya untuk pekerja
di bawah satu tahun. Untuk pegawai dengan masa kerja lebih dari setahun, besaran
upah disesuaikan dengan skala pengupahan di masing-masing perusahaan. Terkait pengaturan
upah per jam hanya akan berlaku untuk pekerjaan khusus seperti di bidang
ekonomi digital atau konsultansi.
Upaya pemerintah untuk menarik investasi dari luar patut diapresiasi,
terutama yang berkaitan dengan penyederhanaan red tape alias birokrasi
yang berbelit. Namun tentunya harus tetap tersedia jalur untuk dialog antar
berbagai stakeholder, khususnya para serikat pekerja. DPR sebagai perwakilan
rakyat harus bijak dalam mengambil keputusan nantinya. Jangan sampai bangsa
sendiri dikorbankan for the sake of the foreign direct investment. Semangat
untuk mereka yang sedang memperjuangkan haknya. Namun ingat, jangan sampai
anarkis dan irasional, ya!
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar