27 Steps of May: Sebuah Perjuangan Penyintas Trauma Kekerasan Seksual - Nara Killjoy

Nara Killjoy

Make Some Noises.

Minggu, 19 Mei 2019

27 Steps of May: Sebuah Perjuangan Penyintas Trauma Kekerasan Seksual


May (Raihaanun), seorang siswi SMP berusia 14 tahun tampak riang berkeliling pasar malam dari satu stan ke stan lainnya. Dengan seragam sekolah masih melekat di badannya, ia lalu berjalan pulang lengkap dengan sebuah balon dan boneka hasil petualangannya di pasar malam. Senyum di wajahnya berubah menjadi rasa penasaran ketika di suatu sudut jalan ia menemukan sebuah benda bersinar di tanah. Tertarik, May mendekati benda itu dan mengamatinya dari dekat. Sekejap saja, ekspresi riang May lenyap. Ia dirudapaksa oleh sekelompok pemuda. Tak ada yang bisa May lakukan selain menangis dan meronta. Puas dengan syahwatnya, pemuda-pemuda tadi melepaskan May pulang dengan tatapan kosong.

Delapan tahun berlalu. May yang hanya hidup berdua dengan sang bapak (Lukman Sardi) menjalani hari-hari dengan satu rutinitas yang sama. May selalu mengawali hari dengan menyetrika bajunya secara teliti, sebelum membuka pintu kamarnya dan menerima seplastik penuh boneka dari bapak untuk ia dandani. Boneka-boneka yang telah selesai didandani dan dikemas, diserahkan ke bapak untuk dijual melalui seorang teman. Rutinitas ini berjalan setiap hari seperti kaset yang diputar berulang. May membutuhkan rutinitas ini untuk menghilangkan trauma dari ingatannya. Sesekali ingatan akan trauma itu muncul dan membuat May berulang kali menyilet nadinya sebagai percobaan untuk mengakhiri hidup, walaupun tidak pernah berhasil.

Bapak May terlihat selalu sabar menghadapi sikap May yang pendiam dan menutup diri dari dunia luar. Sang bapak tampak begitu lembut memahami May dan berusaha untuk tidak mengusik dunianya. Bagaimana pun juga, ia tetaplah seorang ayah. Dalam hatinya, sang bapak begitu terpukul dan dihantui rasa bersalah tidak dapat melindungi putri semata wayangnya. Amarah sang bapak diluapkan di arena perkelahian. Uang dan pujian bukanlah yang ia cari, meskipun kemenangan selalu ada di tangannya. Baginya, arena perkelahian adalah satu-satunya cara untuk melupakan sejenak kegagalannya sebagai seorang ayah.
Sosok Bapak yang senantiasa sabar mendampingi May
Kehidupan May mulai berubah ketika seorang pesulap (Ario Bayu) pindah ke sebelah rumah May. Kamar May dan sang pesulap hanya dibatasi oleh sebuah dinding. Tak lama, May dan sang pesulap menjadi teman dan berkomunikasi melalui lubang di dinding yang kian hari kian membesar. Pertemanannya dengan sang pesulap membuat May perlahan berubah. Diawali dengan mendandani boneka menjadi sosok pesulap dari yang sebelumnya selalu merupakan sosok seorang putri. May juga mulai mau memakan masakan selain yang berwarna putih. Hingga akhirnya, May berani membuka diri, melangkah menuju sang bapak, dan memeluknya. “Ini bukan salah bapak...” ujarnya, diiringi tangis haru sang bapak.
Sang Pesulap yang perlahan membuka pribadi May
Rayya Makarim, sang penulis naskah, awalnya hendak mengangkat kasus perkosaan massal tahun 1998 (pasca lengsernya orde baru) sebagai inspirasi film. Menghindari isu politis, ia dan Ravi Bharwani, sang sutradara, akhirnya sepakat memilih untuk membuat film yang lebih personal, menceritakan hubungan ayah dan anak. Meski minim dialog, film berdurasi 112 menit ini tidak terkesan membosankan. Sebaliknya, penonton dibawa untuk menginterpretasi dan merasakan perjuangan May melawan trauma melalui akting Raihaanun dan sang aktris sukses memainkan perannya dengan baik.

Isu kekerasan seksual terhadap wanita di Indonesia memang masih tampak sebagai hal yang tabu. Perilaku patriarki masih kental di masyarakat kita, dengan menyudutkan wanita sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan seksual itu sendiri. Entah sudah berapa banyak pernyataan kaum adam yang menyalahkan pakaian korban sebagai penyebab utama timbulnya niat untuk melakukan tindak kekerasan seksual. Dibanding mendukung, tak sedikit pula kaum hawa yang turut menyudutkan korban, baik dari cara berpakaian maupun cara bergaulnya. Tidak heran tampaknya jika sebagian besar korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam dan memendam rasa traumanya. Mengakhiri hidup pun dirasa lebih baik ketimbang dicap sebagai “cewek gak bener” oleh masyarakat.

Menyalahkan cara berpakaian wanita sebagai pembenaran untuk melakukan perkosaan sama saja dengan membenarkan pencurian terhadap rumah yang tidak terkunci. Apakah bijak jika kita menyalahkan korban pencurian semata-mata karena ia tidak mengunci rumahnya? Masyarakat kita cenderung lebih suka menyudutkan korban dibanding meluruskan pandangan bahwa kejahatan timbul karena pelaku tersebut memang jahat. Orang yang bersih nuraninya tentu tidak akan melakukan kejahatan, walaupun kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut terbuka lebar. Lucu rasanya ketika masyarakat kita begitu marah dengan perilaku para koruptor yang memanfaatkan kesempatan untuk mencuri uang rakyat, namun memaklumi pelaku rudapaksa yang beralasan bahwa pakaian korbanlah yang memicu niat jahat mereka. Kenapa mereka tidak menyalahkan korban, yaitu diri mereka sendiri yang memilih para pejabat-pejabat tadi untuk duduk di singgasana kekuasaan?


“There are wounds that never show on the body that are deeper and more hurtful than anything that bleeds.” ― Laurell K. Hamilton, Mistral's Kiss

Masih banyak May lainnya di luar sana yang berjuang melawan trauma dan pandangan negatif dari masyarakat. Budaya menyalahkan korban sebagai biang keladi penyebab maraknya kekerasan seksual sudah semestinya dihentikan. Kesadaran ini sebaiknya terlebih dahulu kita tanamkan dalam diri kita masing-masing. Yang tidak kalah penting adalah menciptakan lingkungan yang suportif bagi korban. Menjadi kewajiban bagi orang-orang terdekat korban untuk senantiasa mendukung korban melawan rasa traumanya. Jika kita merasa tidak mampu menjadi sosok yang meringankan trauma, ada baiknya kita tidak perlu menjadi sosok yang memperparah trauma tersebut. Bagi kalian para penyandang trauma kekerasan seksual yang masih bertahan sampai saat ini, kalian luar biasa. Semoga film ini mampu membuka mata kaum patriarki dalam memandang kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar, juga menguatkan mereka yang sedang berjuang melawan trauma akibat kekerasan seksual.
Cheers!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar